JAKARTA, gamki.or.id – Kasus Polisi tembak Polisi kembali terjadi. Sebelumnya kasus tersebut dilakukan oleh perwira tinggi Polri: Irjen Pol Ferdy Sambo pada 2022 lalu. Dia menembak ajudannya. Masalahnya karena dugaan pelecehan kepada istri Sambo: Putri Candrawati.
Kini kejadian itu kembali terulang. Pelakunya dan korbannya sama-sama pangkat AKP atau balok tiga. Kejadian itu terjadi karena dugaan praktik pembekingan tambang ilegal. Walau, sebenarnya kasus pembekingan ini sering terjadi. Sudah terjadi sejak dulu.
Hanya saja, pembuktiannya sulit dilakukan. Atau mungkin banyak yang memiliki bukti tetapi takut untuk membuktikan. Karena urusannya terkait ancaman nyawa. Kondisi itu sebenarnya terbukti. AKP Ryanto Ulil Anshar pun jadi korban.
Di akhir hayatnya pangkat Ryanto Ulil bukan lagi AKP. Melainkan Komisaris Polisi (Kompol). Kepala Polri Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo sepakat menaikkan satu tingkat kepadanya. Sehingga saat ini ia berpangkat Kompol anumerta Ryanto Ulil Anshar.
Kasus Polisi tembak Polisi ini menjadi sorotan seluruh elemen masyarakat. Termasuk berbagai organisasi masyarakat. Salah satunya Gerakan Angkatan Muda Kristen Indonesia (GAMKI). Mereka pun menyayangkan kondisi ini bisa terjadi.
Ketua Bidang Hukum dan HAM DPP GAMKI Frandy Nababan mengatakan, kasus penembakan terhadap Kompol anumerta Ryanto ini harusnya menjadi peringatan keras bagi penegak hukum. Khususnya di tubuh Polri.
“Penegakan hukum harus tegak lurus dari amanat Undang-undang. Tidak boleh ada relasi kekuasaan dalam praktik pembekingan untuk memuluskan adanya tindak kejahatan,” katanya di Jakarta, Kamis 28 November 2024.
Dalam pemberitaan di berbagai media mengenai polisi tembak polisi yang dilakukan AKP Dadang Iskandar adalah tindakan biadab. Seharusnya tindakan itu tidak terjadi di tubuh Polri. Apalagi tempat kejadian perkara (TKP) berada di kantor Kepolisian.
Seharusnya kantor tersebut menjadi tempat teraman bagi siapapun. Tapi nyatanya tidak. “Ini membuat stigma di masyarakat bahwa ‘Polisi saja tidak aman. Apalagi masyarakat?’. Sehingga ada paradigma baru bahwa: lebih baik diam daripada mati.
Sebenarnya sejak awal korban sudah mendapat tekanan dari seniornya di Polri. Hal itu diungkapkan ibu Ryanto. Dia mengatakan bahwa anaknya punya keinginan untuk keluar dari Kepolisian. Hanya saja, ketika itu Kompol Anumerta Ryanto tidak memberikan alasan.
“Niatan untuk mundur itu bisa disimpulkan sebenarnya ada dugaan tekanan dan ancaman yang dialami oleh korban. Kondisi itu terjadi karena korbannya punya niatan untuk membongkar praktik curang yang dilakukan seniornya di kepolisian,” terangnya.
Praktik curang yang dilakukan Dadang diduga membekingi tambang ilegal milik temannya. Menurutnya, tambang ilegal itu sebenarnya menjadi urusan publik. Karena mengganggu keseimbangan lingkungan hidup.
“Dapat kita yakini masih banyak lagi di luaran sana pertambangan ilegal yang dibekingi oleh oknum penegak hukum. Oleh karena itu kepolisian di samping fokus pada kematian Ryanto, juga fokus memberantas praktik pembekingan tambang ilegal,” tegasnya.
Hal itu menurutnya sebagai bentuk Polri melanjutkan cita-cita dan perjuangan Kompol Anumerta Ryanto Ulil Anshar. Agar gugurnya perwira itu tidak menjadi sia-sia. “Begini cara kita menghargai beliau. Tidak hanya sebatas penghargaan seremonial,” katanya lagi.
Ia pun menyarankan agar Polri menetapkan hari wafatnya Ryanto Ulil Anshar menjadi hari peringatan Khusus. Yakni: Penegakan Hukum yang Lurus Tanpa Menjadi Beking Penjahat. “Kita harus menghargai jasa pahlawan yang wafat karena menegakkan hukum,” ungkapnya.
Ayo!!! Bersama menyoroti praktik pembekingan yang dilakukan oleh siapapun itu. Agar praktik itu tidak terus terjadi. (*)