Oleh Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Gerakan Angkatan Mahasiswa Kristen Indonesia (GAMKI) Willem Wandik
Narasi besar dari tema dialog virtual “Memaknai Pancasila Dalam Konteks Mewujudkan Papua Damai”, yang dilaksanakan oleh Relawan Pancasila Muda, perlu digarisbawahi mengenai dua hal, Pancasila dan Damai, atau bisa juga Damai dan Pancasila. Pertanyaannya, Damai di mana? Tentunya secara harfiah, menunjukkan tempat, yaitu Tanah Papua
Jika “tesis” yang diajukan dalam narasi besar, tentang tempat yang bernama “Tanah Papua” itu, disandingkan dengan tujuan/cita cita/harapan/goals/destinasi, tentang “keadaan damai”, maka, pertanyaan yang perlu untuk diajukan, Apakah Tanah Papua itu sedang “Tidak Damai?
Apakah dalam banyak pikiran/perspektif kita semua, benar-benar meyakini, Tanah Papua “Membutuhkan Damai?”
Untuk menjawab hipotesis “damai” tersebut di atas, tentunya, kita perlu mencari tahu, maksud dan tujuan, mengapa Tanah Papua membutuhkan “kalimat Damai”.
Secara harfiah, kebalikan/negasi dari kata “damai” itu berarti Konflik. Konflik secara sederhana berarti “adanya kesenjangan” baik dari sisi pikiran/konsepsi maupun pada bentuk tindakan yang diharapkan terjadi atau tidak terjadi.
Lalu apa yang sejatinya terjadi di Tanah Papua. Apakah Tanah Papua itu Tanah yang Damai? Ataukah Tanah yang Berkonflik?
Lalu, bagaimana Pancasila bisa menjadi solusi dari tujuan damai yang dimaksudkan banyak orang itu?
Pertama-tama, mari kita maknai kata ber-Pancasila, yang dijelaskan dalam bentuk tekstualnya, di antaranya, Pancasila itu berisi adanya cita-cita tentang Keyakinan terhadap Tuhan, mencintai sesama atas dasar kemanusiaan, menjunjung tinggi kemanusiaan, mencintai persatuan ditengah keragaman, bukan berharap menjadi satu identitas saja, mempraktekkan musyawarah dalam setiap persoalan berbangsa, dan terakhir Pancasila itu mengajarkan setiap orang/pemimpin untuk berbuat adil.
Melihat substansi Pancasila, seharusnya tidak ada “masalah” yang kemudian diperbincangkan di Tanah Papua. Karena kelima asas atau fundamental sila yang menyusun “makna tekstual” dalam Pancasila tersebut, justru merupakan parameter kehidupan bernegara yang dicita-citakan oleh semua manusia yang hidup di bumi Nusantara, tanpa terkecuali, termasuk bagi rakyat Papua.
Lalu, bagaimana fakta Pancasila di Tanah Papua?
Dapat kami jelaskan sebagai berikut:
Pertama, mayoritas Rakyat Papua meyakini adanya Tuhan, bahkan wilayah wilayah yang dipandang paling bergejolak di pegunungan Tengah Tanah Papua itu, justru telah lama menjadi pusat pelayanan gereja. Namun, patut kita sayangkan, pada konflik bersenjata dalam kampanye agenda militer yang dilancarkan sejak operasi militer di Tanah Papua, justru para Pendeta/Gembala/para pelayan Tuhan, ada yang tewas terbunuh, dengan alasan yang hingga hari ini, tidak bisa dijelaskan ke hadapan publik.
Pancasila mengajarkan untuk “meyakini adanya Tuhan”, namun, di Tanah Papua, orang orang yang ber-Tuhan sekalipun, tidak menjamin dirinya akan selamat untuk menikmati indahnya hari esok.
Problem pertama yang kita temukan di Tanah Papua adalah, orang-orang yang melakukan pelayanan Gereja, melayani umat Tuhan, justru menjadi korban kekerasan bersenjata.
Pada poin ini, Pancasila di Tanah Papua, masih belum hadir atau masih belum eksis.
Kedua, menjunjung tinggi kemanusiaan, “melindungi satu nyawa manusia, sama artinya dengan menyelamatkan umat manusia secara keseluruhan”. Itu adalah tujuan cita-cita dari dirumuskannya Pancasila sebagai dasar filsafat Bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Mari kita cek faktanya di Tanah Papua. Wajah konflik militerisme, TPM/OPM/KKB, kekerasan dan pelanggaran HAM, seperti dua sisi mata uang koin, yang tidak bisa dipisahkan.
Dalam benak banyak orang, ketika berbicara tentang “Papua”, maka kalimat pertama yang terucap adalah “tingginya angka kekerasan dan masalah kemanusiaan”.
Pada point yang kedua ini, Pancasila di Tanah Papua ternyata belum sama sekali eksis. Padahal peristiwa monumental Pepera 1969 yang menghantarkan Rakyat Papua kembali dalam pangkuan Negara Kesatuan Republik Indonesia, telah secara resmi menempatkan Tanah Papua sebagai kepulauan terakhir yang “bergabung bersama Republik”.
Namun, nasib warga negara di Tanah Papua, masih dibayang-bayangi dengan ancaman kekerasan yang terus diwariskan dari generasi ke generasi berikutnya.
Ketiga, tentang ideologi “persatuan”. Tingginya kekerasan aparat militer di Tanah Papua, seperti perbuatan seorang dokter yang berharap “pasiennya segera mengalami kesembuhan, TAPI, sang dokter membedah luka pasiennya yang sakit dengan pisau TUMPUL”. Maka yang terjadi, sekalipun luka akan sembuh seiring berjalannya waktu, namun, bekas sayatan dan rasa sakitnya akan membekas di benak pasien tersebut.
Demikian halnya “mentalitas/perasaan kebatinan” rakyat Papua, yang merasakan kekerasan selama berpuluh-puluh tahun. Tentunya, membutuhkan waktu untuk pulih dari perasaan traumatik. Dengan catatan, ada itikad baik, untuk memperlakukan setiap OAP itu sebagai warga negara terhormat, memiliki harkat dan martabat, dan yang terpenting diperlakukan layaknya manusia seutuhnya.
Jika kita kembali mempertanyakan, arti pentingnya persatuan di Tanah Papua, maka, maknanya dikembalikan kepada cara negara memperlakukan OAP sebagai manusia yang memiliki harkat dan martabat.
Keempat, asas sila “musyawarah, kemerdekaan berserikat, berkumpul, menyatakan pendapat, dan kehidupan demokrasi” di Tanah Papua. Sejumlah fakta yang justru mengejutkan, banyak dialog Tanah Papua justru gagal menghadirkan solusi, disebabkan oleh “tingginya rasa curiga” terhadap kelompok intelektual di Tanah Papua.
Ketika, kelompok mahasiswa menyuarakan kepentingan Otsus dalam rumusan naskah RUU Otsus yang disiapkan dalam rancangan Undang Undang. Maka, yang justru terjadi, sangat jarang ditemukan, pikiran-pikiran yang digali berdasarkan aspirasi fundamental itu, mendapatkan tanggapan yang serius oleh Pemerintah Pusat.
Ketika, Tanah Papua meminta hak pengelolaan SDA melalui rumusan RUU Otsus, justru UU Cipta Kerja menjadi batu sandungan yang menghalangi “niat baik OAP”. Pada gilirannya, rancangan Otsus yang disusun dalam draft tematik rancangan Undang Undang, mengenyampingkan aspirasi rakyat Papua.
Pada poin ini, lagi-lagi eksistensi Pancasila, masih dipertanyakan di Tanah Papua.
Dan yang terakhir, tujuan Pancasila yang sangat diidam-idamkan oleh seluruh warga negara dimana pun berada, yaitu tercapainya tujuan social justice (keadilan sosial) di Tanah Papua. Hal ini dapat dimaknai ke dalam bentuk keadilan hukum, keadilan dalam aspek politik, keadilan dalam mengakses sumber daya adat dan tradisi (seringkali berkonflik dengan kepentingan ekspansi investasi), keadilan dalam menyuarakan tujuan otsus Papua, dan lain sebagainya.
Akhir kata, bukan pertanyaan tentang “Damai itu Apa? Atau Damai itu Dimana?”, namun, bagaimana eksistensi Masyarakat Adat Papua, dengan kearifan hukum adatnya, dapat hidup tanpa mengalami rasa takut, dan menjadi warga negara Indonesia yang tidak perlu “berteriak”, menuntut perhatian negara, melainkan, dapat hidup bersahaja sebagaimana mereka ada.
Wa Wa Matur Nuwun Horas Horas.