BATAM — Sebuah diskusi atau komunikasi tak mesti dibangun dalam bentuk yang formalistik. Terkadang situasi yang terlalu formil membuat kita terbelenggu dengan formalitas, sehingga tidak cair dan susah memperoleh esensi dari dialog toleransi.
Pernyatan itu disampaikan Ketua Dewan Perwakilan Daerah Gerakan Angkatan Muda Kristen Indonesia (DPD GAMKI) Kepulauan Riau yang juga Ketua Komisi Pemuda PGIW Kepri Rikson Tampubolon dalam dialog kebangsaan para tokoh muda Kepri memperingati Hari Pahlawan.
Acara yang berlangsung di Gereja Kristen Indonesia (GKI) Bundasudi Sukajadi, Batam, 9 November 2021 ini diselenggarakan bersama oleh GKI, Nahdlatul Ulama (NU) dan Persekutuan Gereja-gereja Indonesia (PGI) Wilayah Kepri. Tema yang diusung, ‘Batam Merekat Keberagaman’ menghadirkan empat narasumber dari tokoh agama, kalangan akademisi dan organisasi masyarakat yakni Rikson Tampubolon, Gus Roy Murtadho dari NU, Cosmas Eko Suharyanto dari Pemuda Katolik Komda Kepri, dan Joni Angkadjaya dari Barisan Muda Tionghoa Indonesia (BMTI) Kepri.
“Generasi muda merupakan agen perubahan bangsa. Untuk itu, kita harus idealis, kritis dan berani. Kita harus salurkan energi toleransi kita ini untuk menggebrak persoalan kebangsaan kita hari-hari ini,” tegasnya.
Rikson menekankan, sebagai sebuah bangsa, harusnya soal toleransi sudah selesai.
“Tahun 1928, para pemuda sudah mendeklarasikan Sumpah Pemuda, bahkan sebelum Indonesia merdeka. Bahwa sampai sekarang kita masih tetap bersatu dan teruji, tentunya ini hasil dari perjuangan serta falsafah yang disepakati para pendiri bangsa ini yaitu Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika,” katanya berapi-api.
Sosok muda yang juga berstatus sebagai pengajar di sebuah universitas di Batam ini melanjutkan, kalaupun ada persoalan intoleransi yang terjadi belakangan ini, harusnya kita sikapi dengan bijak
“Sebagai generasi muda dan agen perubahan bangsa, kita, membawa perubahan yang lebih baik dari sebelumnya. Tinggalkan semua permasalahan itu dan mari kita bergerak menuju perubahan,” ungkapnya.
Sementara itu, Gus Roy mengapresiasi adanya ruang dialog seperti ini Gus Roy mengajak para audiens untuk kembali mengingat sejarah lahirnya Indonesia yang dikenal multikultural. Ia menyebutkan, semua agama sama yakni mengajarkan yang baik.
“Sebenarnya akar dari setiap ajaran itu sama, tidak ada perbedaan. Mari kita juga kembali mengingat sejarah dahulu di mana Tionghoa punya peran yang besar bagi Republik ini. Sumpah Pemuda pada saat itu, di Rumah Tionghoa. Inilah yang harus dicatat sebagai sejarah republik kita. Jangan lupa, bangsa kita ini majemuk dan multikultural,” tandasnya.
Cosmas Eko dari Pemuda Katolik mengajak masyarakat Kepulauan Riau untuk mengingat kembali beberapa tokoh gereja yang terlibat dalam masa kemerdekaan Indonesia.
“Walaupun, Kristen sering dianggap sebagai agama penjajah, baik Protestan maupun Katolik, ada sedikitnya empat pahlawan Indonesia dari Katolik sedikitnya yang ikut memperjuangkan republik ini,” katanya sembari menyebut nama-nama Mgr. Soegijapranata, Yosaphat Sudarso, IJ Kasimo, dan Cornel Simanjuntak.
Cosmas pun menyatakan terjadinya peristiwa besar pada 4 Februari 2019 di Abu Dhabi saat Paus Fransiskus bersama Imam Besar Al-Azhar, Sheikh Ahmed el-Tayeb mendatangani ‘The document on Human Fraternity, for World Peace and Living Together’.
“Dokumen itu salah satunya berisi tentang perlindungan tempat Ibadah,” jelas Cosmas dalam dialog yang dimoderatori oleh Yudhi Sanjaya (GKI Bundasudi) ini.
Pada kesempatan yang sama, Joni Angkadjaya menggarisbawahi bahwa sebenarnya spirit Bhineka Tunggal Ika itu ada dalam diri kita masing-masing.
“Sekarang tinggal bagaimana diri kita masing-masing untuk mempertahankan kebhinekaan yang sesungguhnya itu,” pungkasnya.