KUPANG – Berbagai macam kekerasan terjadi pada masyarakat, korban berasal dari laki-laki dan perempuan. Fakta ini menjadi perhatian khusus bagi Dewan Pimpinan Pusat Gerakan Angkatan Muda Kristen Indonesia (DPP GAMKI) melalui Bidang Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dengan mengadakan Pelatihan Dasar Pendampingan Korban Human Trafficking di Kupang, 24-27 November 2023. Pelatihan ini diharapkan menghasilkan pemuda/pemudi yang memiliki pengetahuan mengenai kekerasan berbasis gender. Beberapa fasilitator dihadirkan untuk dapat memberikan wawasan serta ilmu dasar agar nanti dapat melawan pelaku kekerasan seksual dan memberikan advokasi serta pendampingan pada korban.
Sesi pertama membahas dan mengupas habis mengenai kekerasan berbasis gender. Materi ini dibawakan oleh Obertina Johanis, Feminist Theologian & Interfaith Activist, yang merupakan Sekretaris Jenderal Persekutuan Perempuan Berpendidikan Teologi (PERUATI) berpengalaman karena tidak hanya mengerti dasar dan teori, tetapi berhasil bangkit dari penyintas.
“Gender dan jenis kelamin merupakan dua hal yang berbeda, hal tersebut karena jenis kelamin secara biologis terdapat pada setiap manusia, tetapi gender merupakan hasil dari kontruksi sosial, budaya, dan agama yang terdapat pada masyarakat dan bisa dipertukarkan,” jelas lulusan Magister Sekolah Tinggi Filsafat Theologi Jakarta. Ia menegaskan, produk hukum seperti Undang-undang No. 23/2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, Undang-undang No. 21/2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, Undang-undang No. 12/2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, dan Undang-undang No. 35/2014 Tentang Perlindungan Anak, merupakan suatu kemajuan di Indonesia yang dapat menjadi titik balik kemerdekaan atas kekerasan seksual yang selama ini terjadi.
Obertina Johanis mengajak peserta untuk berpikir kritis serta memiliki kemampuan analisis terkait kekerasan berbasis gender dengan studi kasus pada beberapa kejadian di Indonesia. Diharapkan peserta dapat mengerti serta menyadari berbagai ciri pada kekerasan seksual dan menjadi agen untuk dapat mengadvokasi serta ‘tempat aman’ bagi korban. Hal tersebut dikarenakan seringkali korban kekerasan seksual mendapatkan penghakiman dan termajinalkan di kelompok masyarakat sehingga menutup diri.
“Kekerasan seksual merupakan kesalahan sepenuhnya dari pelaku dan kita harus berada pada pihak korban,” pungkas Obertina.