Jakarta, gamki.or.id – Baru-baru ini publik dikejutkan dengan berita mengenai keputusan DPRD Parepare atas penolakan pendirian sebuah sekolah Kristen di wilayah berjuluk ‘Kota Cinta’ itu. Pemicunya karena adanya penolakan dari Forum Masyarakat Muslim Parepare yang menyatakan keberatan dengan pembangunan Sekolah Kristen Gamaliel di Kelurahan Wattang Soreang, Kota Parepare, Sulawesi Selatan.
Dewan Pimpinan Pusat Gerakan Angkatan Muda Kristen Indonesia (GAMKI) menilai keputusan DPRD Parepare sarat dengan tekanan berbau ‘diskriminatif’, terutama karena beralasan pendirian sekolah Kristen Gamaliel tidak sesuai dengan Surat Edaran Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Riset dan Teknologi Nomor 26 Tahun 2021 yang menyatakan bahwa pemberian layanan perizinan oleh pemerintah dilaksanakan berpedoman pada Permendikbud Nomor 81 Tahun 2013, Permendikbud Nomor 36 Tahun 2014 tentang Pedoman Pendirian Satuan Pendidikan, dan Permendikbud Nomor 84 Tahun 2014.
Merujuk pada persoalan ini, GAMKI melihat ada dua isu sosial dan hukum yang muncul. Pertama, mengenai isu intoleransi dengan adanya penolakan warga muslim dari Forum Masyarakat Muslim Parepare (FM2P) terhadap pendirian sekolah kristen.
Kedua, mengenai isu hukum cacat prosedur mengenai izin pendirian Satuan Pendidikan Sekolah Kristen Gamaliel, sehingga berlanjut ke Rapat Dengar Pendapat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Parepare dan memuat keputusan menolak pendirian atau pembangunan sekolah tersebut. Keputusan itu juga melarang aktivitasnya di sekolah dengan memerintahkan Satpol PP melakukan penertiban berupa memasang garis polisi (police line).
Maka ada hal penting yang sangat dapat disoroti terhadap keputusan ini:
Pertama, DPRD itu fungsinya hanya tiga yaitu Pengawasan, Legislasi dan Anggaran. Tidak lebih dari itu, sehingga sekalipun ada hasil dari Rapat Dengar Pendapat (RDP), maka keputusannya bersifat rekomendasi kepada Pemerintah Daerah selaku fungsi eksekutif dan inilah yang dinamakan menjalankan kewenangan pengawasan DPRD terhadap pemerintah daerahnya.
Kedua, DPRD Parepare tidak dapat melakukan perintah kepada Satpol PP untuk melakukan eksekusi penyegelan berupa dengan tindakan penertiban berupa membuat police line, karena Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) bertanggung jawab kepada Kepala Daerah melalui Sekretaris Daerah dan oleh karenanya pula seharusnya Satpol PP tidak boleh bertindak untuk dan atas nama keputusan DPRD.
Ketiga, tindakan penyegelan ditandai dengan tindakan pemasangan police line Satpol PP harusnya hanya dapat dilakukan oleh Pemerintah Daerah atas diterbitkannya Keputusan Tata Usaha Negara dan barulah kemudian Satpol PP dapat Bertindak untuk atas nama pemerintah daerah melakukan penegakan administratif pemerintahan.
”Tindakan DPRD Parepare sangat jauh dari tugas dan fungsinya, dan dapat dikatakan sangat menyalahgunakan kekuasaannya (abuse of power) dalam hal tindakan aktif menolak dan memerintahkan satpol PP untuk penegakan perda dengan cara memberikan garis polisi (police line) sehingga menghalangi aktivitas pendidikan di Sekolah Kristen Gamaliel,” kata Ketua DPP GAMKI Bidang Hukum dan HAM Frandy Septior Nababan.
Dalam kasus ini, GAMKI juga menyoroti fungsi pemerintah daerah dan DPRD Parepare dalam peran aktif mendorong kemajuan pendidikan dalam kaitan perizinan Sekolah Kristen Gamaliel.
Jika mengingat alasan DPRD Parepare menolak kehadiran sekolah Kristen Gamaliel, maka maka sangat sulit alasan penolakan ini karena berat dipersoalan perizinan semata, tapi seolah-olah memang hal ini lebih condong ke arah tindakan diskriminatif.
Maka jika merujuk pada UU Nomor 20/2003 tentag Sistem Pendidikan Nasional Pasal 11 ayat (1) diatur bahwa “Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi”, alasan hasil rapat DPRD Parepare tidak beralasan, karena sebenarnya dan sudah seharusnya REKOMENDASI yang perlu diadakan oleh DPRD adalah keputusan yang tidak diskriminatif serta memuat kesan seimbang yaitu dengan meminta sebagai wujud penegasan terhadap Pemerintah Daerah untuk segera memberikan layanan dan kemudahan terhadap perizinan sekolah tersebut. Hal inilah yang kemudian seharusnya diputuskan oleh DPRD Parepare dalam menjalankan fungsi pengawasan, karena sesungguhnya memang perijinan tersebut harusnya dilaksanakan dengan tindakan aktif pemerintah daerah sebagai wujud semangat dalam kemajuan pendidikan, bukan malah mempersulit perizinkan sesuai semangat dari Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional.
GAMKI menilai, tindakan mengenai hal ini juga jauh dari amanat Konstitusi yang diatur Dalam ketentuan Pasal 31 ayat (3) UUD 1945 yang secara jelas diamanatkan bahwa “kewajiban pemerintah dalam mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang”.
“Maka sudah seharusnya baik Pemerintah Daerah maupun DPRD Parepare membantu percepatan pendirian sekolah tersebut dalam rangka peran aktif mendorong kemajuan pendidikan diwilayah administratifnya dengan tidak bersikap diskriminatif,” tegas Frandy Septior Nababan.
GAMKI Kecam Penyalahhunaan Kekuasaan DPRD Parepare pada Penolakan Pembangunan Sekolah Kristen Gamaliel
Baru-baru ini publik dikejutkan dengan berita mengenai keputusan DPRD Parepare atas penolakan pendirian sebuah sekolah Kristen di wilayah berjuluk ‘Kota Cinta’ itu. Pemicunya karena adanya penolakan dari Forum Masyarakat Muslim Parepare yang menyatakan keberatan dengan pembangunan Sekolah Kristen Gamaliel di Kelurahan Wattang Soreang, Kota Parepare, Sulawesi Selatan.
Dewan Pimpinan Pusat Gerakan Angkatan Muda Kristen Indonesia (GAMKI) menilai keputusan DPRD Parepare sarat dengan tekanan berbau ‘diskriminatif’, terutama karena beralasan pendirian sekolah Kristen Gamaliel tidak sesuai dengan Surat Edaran Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Riset dan Teknologi Nomor 26 Tahun 2021 yang menyatakan bahwa pemberian layanan perizinan oleh pemerintah dilaksanakan berpedoman pada Permendikbud Nomor 81 Tahun 2013, Permendikbud Nomor 36 Tahun 2014 tentang Pedoman Pendirian Satuan Pendidikan, dan Permendikbud Nomor 84 Tahun 2014.
Merujuk pada persoalan ini, GAMKI melihat ada dua isu sosial dan hukum yang muncul. Pertama, mengenai isu intoleransi dengan adanya penolakan warga muslim dari Forum Masyarakat Muslim Parepare (FM2P) terhadap pendirian sekolah kristen.
Kedua, mengenai isu hukum cacat prosedur mengenai izin pendirian Satuan Pendidikan Sekolah Kristen Gamaliel, sehingga berlanjut ke Rapat Dengar Pendapat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Parepare dan memuat keputusan menolak pendirian atau pembangunan sekolah tersebut. Keputusan itu juga melarang aktivitasnya di sekolah dengan memerintahkan Satpol PP melakukan penertiban berupa memasang garis polisi (police line).
Maka ada hal penting yang sangat dapat disoroti terhadap keputusan ini:
Pertama, DPRD itu fungsinya hanya tiga yaitu Pengawasan, Legislasi dan Anggaran. Tidak lebih dari itu, sehingga sekalipun ada hasil dari Rapat Dengar Pendapat (RDP), maka keputusannya bersifat rekomendasi kepada Pemerintah Daerah selaku fungsi eksekutif dan inilah yang dinamakan menjalankan kewenangan pengawasan DPRD terhadap pemerintah daerahnya.
Kedua, DPRD Parepare tidak dapat melakukan perintah kepada Satpol PP untuk melakukan eksekusi penyegelan berupa dengan tindakan penertiban berupa membuat police line, karena Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) bertanggung jawab kepada Kepala Daerah melalui Sekretaris Daerah dan oleh karenanya pula seharusnya Satpol PP tidak boleh bertindak untuk dan atas nama keputusan DPRD.
Ketiga, tindakan penyegelan ditandai dengan tindakan pemasangan police line Satpol PP harusnya hanya dapat dilakukan oleh Pemerintah Daerah atas diterbitkannya Keputusan Tata Usaha Negara dan barulah kemudian Satpol PP dapat Bertindak untuk atas nama pemerintah daerah melakukan penegakan administratif pemerintahan.
”Tindakan DPRD Parepare sangat jauh dari tugas dan fungsinya, dan dapat dikatakan sangat menyalahgunakan kekuasaannya (abuse of power) dalam hal tindakan aktif menolak dan memerintahkan satpol PP untuk penegakan perda dengan cara memberikan garis polisi (police line) sehingga menghalangi aktivitas pendidikan di Sekolah Kristen Gamaliel,” kata Ketua DPP GAMKI Bidang Hukum dan HAM Frandy Septior Nababan.
Dalam kasus ini, GAMKI juga menyoroti fungsi pemerintah daerah dan DPRD Parepare dalam peran aktif mendorong kemajuan pendidikan dalam kaitan perizinan Sekolah Kristen Gamaliel.
Jika mengingat alasan DPRD Parepare menolak kehadiran sekolah Kristen Gamaliel, maka maka sangat sulit alasan penolakan ini karena berat dipersoalan perizinan semata, tapi seolah-olah memang hal ini lebih condong ke arah tindakan diskriminatif.
Maka jika merujuk pada UU Nomor 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 11 ayat (1) diatur bahwa “Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi”, alasan hasil rapat DPRD Parepare tidak beralasan, karena sebenarnya dan sudah seharusnya REKOMENDASI yang perlu diadakan oleh DPRD adalah keputusan yang tidak diskriminatif serta memuat kesan seimbang yaitu dengan meminta sebagai wujud penegasan terhadap Pemerintah Daerah untuk segera memberikan layanan dan kemudahan terhadap perizinan sekolah tersebut. Hal inilah yang kemudian seharusnya diputuskan oleh DPRD Parepare dalam menjalankan fungsi pengawasan, karena sesungguhnya memang perijinan tersebut harusnya dilaksanakan dengan tindakan aktif pemerintah daerah sebagai wujud semangat dalam kemajuan pendidikan, bukan malah mempersulit perizinkan sesuai semangat dari Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional.
GAMKI menilai, tindakan mengenai hal ini juga jauh dari amanat Konstitusi yang diatur Dalam ketentuan Pasal 31 ayat (3) UUD 1945 yang secara jelas diamanatkan bahwa “kewajiban pemerintah dalam mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang”.
“Maka sudah seharusnya baik Pemerintah Daerah maupun DPRD Parepare membantu percepatan pendirian sekolah tersebut dalam rangka peran aktif mendorong kemajuan pendidikan diwilayah administratifnya dengan tidak bersikap diskriminatif,” tegas Frandy Septior Nababan.