Dalam beberapa waktu terakhir, pemerintah mewacanakan omnibus law demi memperbaiki perundang-undangan yang ada di Indonesia saat ini. Secara sederhana, Omnibus law adalah suatu Undang-Undang (UU) yang dibuat untuk menyasar satu isu besar yang mungkin dapat mencabut atau mengubah beberapa UU sekaligus, sehingga menjadi lebih sederhana. Salah satu RUU Omnibus Law adalah RUU Cipta Kerja.
“Berdasarkan informasi yang kami dapatkan, RUU Cipta Kerja menjadi salah satu prioritas Pemerintah untuk dapat meningkatkan investasi dan mengentaskan pengangguran. Namun kami melihat masih adanya informasi yang simpang siur terkait beberapa pasal di dalam RUU ini. Pemerintah dan DPR harus menerima masukan masyarakat sebelum menetapkan RUU ini menjadi UU,” ujar Paul Pasaribu, Ketua Bidang Ketenagakerjaan DPP GAMKI di Jakarta, Selasa (18/2/2020).
Menurut Paul, ada beberapa pasal yang kontroversi, antara lain terkait upah tenaga kerja, keberadaan outsourcing dan karyawan kontrak, jaminan sosial dan pensiun, tenaga kerja asing, dan UU yang dapat dicabut lewat Peraturan Pemerintah (PP).
Beberapa pasal ini menimbulkan polemik di tengah masyarakat. Maka kami harapkan DPR dapat menampung aspirasi masyarakat. Apapun dasar alasan pemerintah dalam menyusun RUU ini, seharusnya tidak merugikan kepentingan dan kebutuhan rakyat.
“Dalam Rakernas GAMKI beberapa waktu lalu di Surabaya, kami membahas tentang Omnibus Law. Kami mendukung pemerintah dan DPR menetapkan UU Omnibus Law jika itu bertujuan untuk pembangunan dan kepentingan jangka panjang Indonesia. Namun kepentingan rakyat harus tetap diutamakan dan diprioritaskan, jangan hanya mengakomodir kepentingan investor dan pemodal saja. GAMKI mengharapkan Omnibus Law ini pro terhadap UMKM dan angkatan kerja,” pungkas Paul.
Beberapa waktu lalu, dalam Rapat Kerja Nasional GAMKI yang dilaksanakan di Surabaya, Omnibus Law klaster dibahas dengan tema “Omnibus Law Klaster Ketenagakerjaan: Tarik Ulur Kepentingan Investasi dan Perlindungan Pekerja/Buruh”. Narasumber dalam topik ini antara lain Adriana (Setditjen PHI Kementerian Ketenagakerjaan), Dr. Wahyudi Wibowo (Dosen FEB Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya), Timboel Siregar (Koordinator Advokasi BPJS Watch), dan Dr. Umbu Rauta (Dosen Hukum Tata Negara Universitas Kristen Satya Wacana).
Adriana dari Kementerian Tenaga Kerja menekankan bahwa pemerintah harus mengimbangi antara jumlah angkatan kerja dan lapangan kerja. Salah satu faktor yang memiliki daya ungkit besar untuk meningkatkan ketersediaan lapangan kerja adalah investasi. Investasi perlu ditingkatkan, tetapi harus dengan regulasi yang memadai.
Terkait omnibus law, dia mengatakan pembahasan tersebut bukan hanya sekedar memakai perspektif investor dan pengusaha. Tetapi pemerintah ingin memastikan pelindungan terhadap hak-hak kaum pekerja yang selama ini kerap diabaikan.
“Pemerintah ingin perlindungan bagi pekerja, seperti upah pekerja, jaminan sosial, jaminan hari tua, dan lainnya yang menyangkut hak pekerja,” jelasnya.
Menurut Dr. Wahyudi Wibowo, perlu diadakan sistem pengupahan yang sesuai dengan kondisi di lapangan. Misalnya penggunaan upah per jam lebih sesuai untuk industri jasa yang memang naturenya fleksibel. Namun belum tentu akan sesuai jika diterapkan dalam industri manufaktur. Dalam RUU Cipta Kerja, perlu dielaborasi dengan kemampuan sumber daya manusia.
“Investor mungkin tidak akan keberatan dengan upah yang tinggi jika diimbangi dengan produktivitas kerja yang tinggi. Namun untuk menaikkan produktivitas tidak bisa dilihat dari satu sisi saja. Ada sisi pendidikan, misalnya, yang memiliki pengaruh besar terhadap produktivitas angkatan kerja kita,” pungkas Dosen Fakultas Ekonomi ini.
Persoalan ketenagakerjaan sesungguhnya sangat kompleks. Tidak bisa disederhanakan begitu saja. Tentang hal ini, Timboel Siregar berharap adanya komunikasi yang baik antara para pengambil kebijakan dengan masyarakat.
“Berbagai kegaduhan yang selama ini timbul karena pemerintah tidak memberikan draf RUU Cipta Kerja kepada masyarakat agar dapat kita telaah. Pada akhirnya kita hanya bisa mendiskusikan isu-isu dalam RUU tersebut hanya lewat informasi dari media,” imbuhnya.
Koordinator Advokasi BPJS Watch ini mengatakan bahwa pemerintah juga harus memperhatikan kondusifitas politik. Kemudian kepastian hukum, supaya investor tidak ragu berinvestasi.
Senada dengan Timboel Siregar, Dr. Umbu Rauta yang juga hadir sebagai narasumber menyoroti keseriusan pemerintah dalam menyusun Omnibus Law. Ia melihat ada ambiguitas terhadap spirit yang ingin dibawa oleh pemerintah dengan konsep omnibus law.
“Jika spiritnya kodifikasi, pemerintah justru tidak berniat meniadakan undang-undang lain yang sudah eksis, tetapi hanya menggantinya dengan norma-norma dalam RUU Cipta Kerja. Jika spiritnya adalah penyederhanaan regulasi, maka pendekatan yang digunakan dengan omnibus law justru membuat regulasi menjadi tidak sederhana. Pemerintah (dan DPR) harus terbuka dalam proses perencanaan dan penyusunan RUU Cipta Kerja,” pungkas dosen Fakultas Hukum Universitas Kristen Satya Wacana ini