Pandemi Covid-19 membawa kesulitan untuk banyak hal, baik ekonomi, pendidikan, sosial, maupun rumah tangga. Namun, berbagai kesusahan itu sebaiknya tidak menjadi pemakluman atas berbagai tindakan eksploitasi anak.
Pesan itu disampaikan Ketua Bidang Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Dewan Pimpinan Pusat Gerakan Angkatan Muda Kristen Indonesia (DPP GAMKI) Helen Diana Vida pada Webinar Nasional DPP GAMKI bertema ‘Eksploitasi Anak di Masa Pandemi Covid-19’.
“DPP GAMKI, khususnya Bidang Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak mengajak kita mencari solusi langkah apa yang bisa kita lakukan bersama untuk menyelamatkan anak-anak yang meeupakan generasi penerus bangsa. Kita harus menemukan solusi pencegahan dan penanganan secara konkret terkait eksploitasi anak di Indonesia,” kata Helen Vida.
Helen mengungkapkan, kondisi kesulitan di masa pandemi kerap menjadi alasan orang untuk melakukan berbagai hal dengan menghalalkan segala cara, dengan alasan terhimpit kebuuhan ekonomi.
“Keadaan seperti ini tak jarang menyudutkan anak-anak dan bahkan berujung pada eksploitasi anak. Antara lain dengan memaksa anak bekerja, menikah di usia muda, anak diperdagangkan dan yang akhir-akhir ini mencuri perhatian masyarakat adalah anak-anak yang ditumbalkan agar orang tuanya bisa mendapatkan kekayaan dengan cara singkat. Ini harus kita cegah,” paparnya.
Asisten Deputi Perlindungan Khusus Anak dan Kekerasan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Ciput Eka Purwianti yang menjadi narasumber lain dalam webinar ini mengungkapkan, tahun lalu pihaknya mencatat 8.686 kasus kekerasan perempuan dengan korban sebanyak 8.763 perempuan.
“Sebanyak 61 persen di antaranya merupakan kekerasan dalam rumah tangga,” ungkapnya.
Selain itu, terdapat 11.278 kasus kekerasan pada anak dengan 12.425 korban. Terdiri dari 3.608 anak laki laki dan 8.817 anak perempuan, dengan kekerasan yang dialami lebih banyak beruapa seksual, fisik, dan psikis.
Adapun Aris Merdeka Sirait dari Komisi Nasional Perlindungan Anak membeberkan data bahwa data adanya 88 kasus perdagangan dan eksploitasi anak yang terjadi hingga Agustus 2020. Jumlah tersebut turun dari tahun 2019 yang sebanyak 244 kasus. Berdasarkan data KPAI hingga Agustus 2020, ada 26 kasus anak yang dilaporkan sebagai korban eksploitasi untuk bekerja.
“Jumlah tersebut menjadi yang tertinggi dibandingkan kasus perdagangan dan eksploitasi anak lainnya. Sebanyak 18 kasus anak sebagai korban prostitusi, 16 kasus anak korban trafficking, 16 kasus anak korban eksploitasi anak lainnya. Kondisi ini harus menjadi perhatian dan ditindak lanjuti oleh seluruh pihak, agar tidak berdampak pada masalah sosial lainnya,” kata Aris.
Fakta lain disampaikan Lusi Palulungan, aktivis perempuan dari lembaga Dewi Keadilan, Sulawesi Selatan.
Menurut Lusi, anak paling sering mengalami dua macam eksploitasi, yakni eksploitasi ekonomi seperti dipaksa bekerja, serta eksploitasi seksual seperti prostitusi atau pelacuran anak.
Di sinilah Lusi mengajak berbagai kelompok masyarakat untuk bersama mengatasi masalah ini, dimulai dari memahami isu, membentuk jaringan, melakukan program advokasi, serta jal-hal lain sebagai upaya membantu pencegahan, dan penanganan eksploitasi anak.
“Kita harus bekerja keras melaksanakan lima arahan dari Presiden Jokowi yakni mewujudkan peningkatan pemberdayaan perempuan dalam wirausaha, peningkatan peran ibu dan keluarga dalam pendidikan dan pengasuhan anak, penurunan kekerasan terhadap anak, penurunan pekerja anak, dan pencegahan perkawinan anak,” pungkasnya.