Salah satu hambatan pelaksanaan pemilu yang luber dan jurdil ialah penggunaan isu politik identitas. Hal itu terungkap dalam diskusi bulanan Gerakan Angkatan Muda Kristen Indonesia (GAMKI) Sulawesi Utara yang mengangkat topik tentang pengaruh politik identitas di Indonesia.
Diskusi bulanan, Jumat, 6 Mei 2022 menghadirkan narasumber Komisioner Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Herwin Malonda dan akademisi Universitas Sam Ratulangi Manado Ferry Liando.
Dalam kesempatan itu, Malonda yang didampingi Ketua Bawaslu Sulut Kenly Poluan dan sejumlah pimpinan Bawaslu Sulut lainnya memaparkan, salah satu kehendak dari demokrasi adalah memberikam kebebasan bagi masyarakat untuk memilih.
“Sebenarnya kita berharap pemilu itu dilaksanakan berdasarkan asas luber dan jurdil. Ada kebebasan bagi masyarakat untuk memilih. Nah, salah satu hambatan terkait itu menggunakan isu-isu politik identitas untuk pemenangan kelompok tertentu dan kandidat tertentu,” ungkap Malonda.
Dampak negatif dari politik identitas itu sendiri menurut Malonda justru menghadirkan perpecahan antar kelompok di masyarakat.
Eks Ketua Bawaslu Sulut dua periode itu menekankan pentingnya kerja kelaborasi untuk memutus matai rantai politik identitas.
“Jadi memang diharapkan nantinya seluruh komponen masyarakat membangun koordinasi membangun komunikasi, dalam upaya untuk mencegah kemungkinan menggunakan isu-isu itu,” urai Malonda.
Salah satu faktor tingginya politik identitas menurut Malonda justru karena kurangnya informasi tentang profil kandidat yang diketahui publik. Sehingga kedepan diharapkan nantinya terkait dengan profilnya dan rekam jejak parpol dan calon kandidat itu ditampilkan secara utuh, dan menyeluruh.
“Supaya masyarakat pemilih mendapatkan informasi yang komprehensif apa yang akan dia pilih. Nah memang salah satu sebab terjadinya orang memilih berdasarkan identitasnya karena kurangnya informasi,” tandasnya.
Malonda mendorong ke depan peraturan KPU untuk mengedepankan aspek profiling para kandidat. Apalagi didukung teknologi sekarang akan terbuka seluas-luasnya kita terkait dengan profil parpol dan kandidat kedepan. Baik pilpres, DPD dan legislatif DPR dan DPRD.
Ia memaparkan, Bawaslu akan bersama-sama membangun koordinasi, baik penyelenggara pemilu pemerintah, semua pihak serta terlebih khusus parpol. Supaya nanti mengedepankan politik etis, moral dalam mengikuti pemilu. Menawarkan apa yang terbaik bagi rakyat sehingga mendapatkan simpati rakyat dalam proses pemilu.
“Dampak politik identitas itu dapat merusak sendi-sendi persahabatan, persaudaraan kehidupan yang esensi di masyarakat pasca pemilu. Itu harus disadari, dan kita cegah secara bersama-sama,” harapnya.
Sementara itu, Pengamat politik dan kepemiluan Ferry Liando menegaskan politik identitas dalam literatur ilmu politik sebetulnya merupakan alat perjuangan untuk memobilisasi komunitas yang memiliki kepentingan yang sama untuk memperjuangkan lahirnya sebuah keputusan politik atau kebijakan publik yang berpihak pada komunitas tertentu.
Namun belakangan, politik identitas kerap dimanfaatkan oleh aktor-aktor politik untuk kepentingannya sendiri.
Bagi Liando, politik identitas sebetulnya telah menjadi fenomena tetapi tidak hangat dipersoalkan karena motifnya tentang perjuangan kemanusiaan seperti perjuangan kaum perempuan, perjuangan kaum buruh dan perjuangan kelompok etnik/agama tertentu dalam perjuangan pembentukan daerah otonom baru serta pembentukan sejumlah partai politik berbasis keagamaan. Sebuah gerakan yang berlandaskan identitas dapat disebut politik identitas
Awalnya politik identitas merupakan alat perjuangan politik untuk membela kepentingan kelompok akibat penindasan dan ketidakadilan. Besaran UMP yang setiap tahun naik tidak terlepas dari perjuangan para serikat buruh seperti SBSI dan organisasi lain.
“Kebijakan affirmatif action 30% jumlah perempuan di DPRD, Parpol dan penyelenggara pemilu tidak lepas dari perjuangan para aktivis perempuan. Berdirinya Kabupaten Minahasa Selatan merupakan perjuangan etnik Tountemboan,” jelasnya.
Lanjut Dosen Kepemiluan itu, politik identitas kini mulai berubah drastis bahkan kian menakutkan. Menyatukan yang serupa, dan memisahkan yang berbeda. Kita adalah kita dan mereka adalah mereka dan kita berbeda. Mereka bukan yang lebih baik dari kita. Politik identitas seakan menjadi senjata untuk memainkan sentimen agama, etnis, ras, jender untuk menggolkan agenda-agenda politik.
Politik identitas menjadi salah satu strategi kelompok-kelompok politik dalam memenangi kompetisi. “Modusnya adalah menyadarkan kelompok tertentu seolah-olah kelompok itu telah tertindas dan diperlakukan secara tidak adil. Tema-tema kebencian makin menggelorakan semangat kelompoknya untuk bersatu dan melawan,” ujarnya.
Alhasil, sikap politik pemilih akhirnya tidak lagi memilih berdasarkan kualitas calon melainkan dipengaruhi oleh kesamaan indentitas calon dengan pemilih itu. Keputusan memilih bukan karena atas dasar kesenangan pada calon yang dipilih tetapi karena calon yang lain berbeda identitas dengannya. Tentu ini menjadi berbahaya bagi demokrasi elektoral ke depan.
Dua cara yang bisa dilakukan untuk mencegah politik identitas menurut Liando adalah membatasi jumlah parpol peserta pemilu dan mengurangi atau menghapus syarat ambang batas pencaloan presiden. Jumlah parpol yang terlalu banyak menyebabkan ada parpol yang membuat Branding bernuansa identitas SARA untuk memobilisasi pendukung dan memusuhi yang lain berdasarkan perbedaan SARA. Kemudian tingginya syarat ambang batas pencalonan presiden menyebabkan terjadinya 2 polarisasi dukungan.
Harapan GAMKI Sulut
Ketua DPD GAMKI Sulut Yowanda Yonggara berharap publik bisa berkaca dari potret buram politik identitas pada pemilu 2019 yang menghasilkan keterpecahan di kalangan masyarakat.
“GAMKI Sulut memandang penting untuk menggelar diskursus publik semacam ini agar supaya pada pemilu 2024 nanti kita terhindar dari peristiwa-peristiwa serupa melalui kampanye yang berbau politik identitas,” sebut Yonggara.
Mantan Ketua BEM Unsrat Manado itu, mengatakan penguatan materi kampanye, dan fakta indegritas bagi kandidat justru akan memberikan dampak positif bagi masyarakat untuk memilih berdasarkan rasionalitas dan bukan berdasarkan politik identitas.
“Penerapan sanksi administrasi bagi kandidat yang menggunakan politik identitas. Tetapi juga dibutuhkan peran tokoh masyarakat dan organisasi seperti GAMKI untuk menyuarakan narasi-narasi positif keutuhan antar sesama. Harapannya kader-kader GAMKI dapat berperan aktif dan berkontribusi terhadap pendidikan politik bagi masyarakat,” harapnya.
Turut hadir dalam kegiatan seminar adalah Ketua Bawaslu Sulut Kenly Poluan dan Ewin Umbola serta Ketua dan anggota Bawaslu kabupaten/kota se-Sulawesi Utara.