Jakarta, gamki.or.id – Aktivis muda dari berbagai organisasi sipil lintas iman diharapkan menjadi contoh bagaimana melakukan gerakan bergandeng tangan dalam mewujudkan toleransi di Indonesia. Bila gema gerakan toleransi itu bisa ditunjukkan lebih luas, maka upaya segelintir oknum yang menampilkan riak-riak intoleransi akan tertutupi.
Pernyataan itu disampaikan Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Gerakan Angkatan Muda Kristen Indonesia (DPP GAMKI) Sahat Martin Philip Sinurat dalam live event talk show Natal bertema ’Meresapi Nilai Kasih dan Kedamaian’ di Garuda TV, Rabu, 25 Desember 2024.
”Orang Kristen tak butuh privilege atau hak istimewa untuk hidup di Indonesia. Kami hanya ingin dilihat sebagai warga negara yang punya kedudukan sama. Tak ada warga negara kelas dua, kelas tiga di Indonesia, semuanya setara,” kata Sahat.
Sebagai pesan Natal tahun ini, Sahat menekankan pentingnya jaminan kebebasan dan keamanan bagi umat Kristiani dalam melaksanakan ibadah di tanah air. Sembari menyebut deretan umat Kristen yang masih kesulitan menjalankan kebebasan beribadah di Sumatera, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Kalimantan Timur, dan lain-lain, Sahat menekankan pentingnya ’reward’ dan ’punishment’ bagi daerah-daerah yang bisa menjamin kerukunan kebebasan beragama serta mana yang masih ada konflik antar umat.
”Setiap tahun ada pengumuman Indeks Kerukunan Beragama dan juga Indeks Kota Toleran. Harus ada penghargaan dan hukuman bagi pemerintah daerah yang berprestasi dan tidak. Ini penting agar tak semua persoalan dilempar ke pemerintah pusat. Membenahinya harus dari tingkat lokal,” paparnya.
Dalam dialog yang dipandu presenter Chicha Amalia ini, Sahat mengajak aktivis lintas uman untuk menunjukkan ekspresi toleransi dan kerukunan secara masif. Ia pun menekankan bahwa spirit damai Natal tak hanya untuk umat Kristiani, tapi juga untuk seluruh umat beragama di Indonesia.
Sahat mengucapkan terima kasih kepada masyarakat yang meski berbeda agama namun bisa menyambut dan mengucapkan Selamat Natal. Ia menegaskan, bicara soal toleransi dan kesetaraan dalam memeluk agama sebenarnya sudah hal alami terjadi beratus tahun di Indonesia.
“Masyarakat kita, dari barat ke timur, sudah biasa hidup berdampingan. Sekarang tinggal bagaimana negara harus punya komitmen, menjaga kekayaan toleransi berdasar Pancasila bisa diterapkan dalam kehidupan sehari-hari sehingga tak terjadi lagi sikap-sikap intoleransi,” tukasnya.
Ia menegaskan, memeluk dan menjalankan ibadah menurut agama serta kepercayaan merupakan hak paling mendasar bagi setiap warga negara Indonesia. Untuk itulah, negara punya peran, dari RT, RW hingga level pemerintahan di atasnya harus berada di tengah, berdiri di semua golongan.
”Dalam kondisi itu, negara harus mencari jalan tengah, tak hanya sekadar ikut suara mayoritas yang dominan. Kita yakin semua agama mengajarkan cinta kasi dan kedamaian, dan nilai-nilai itu dimiliki oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Jadi, kalau ada sikap intoleransi itu hanya oknum, tapi viral, sehingga bisa mempengaruhi sebagian besar umat yang selama ini hidup rukun berdampingan,” paparnya.
Di sinilah, menurut Sahat, regulasi yang ada jangan hanya membatasi, tapi seharusnya bisa memberi ruang kekebasan memeuluk agama dan mengekspresikan.
Faktor lain yakni pentingnya tokoh agama dan tokoh masyarakat memberikan ajaran-ajaran yang memberikan kedamaian. ”Tokoh agama dan figur publik jangan memberikan ajaran eksklusif, sebaliknya sampaikan ajaran moderat untuk saling hidup berdampingan,” ungkapnya.
Untuk itu, peran negara penting dalam melakukan pemberdayaan dan membangun silaturahmi di antara masyarakat. ”Sebagaimana juga gereja, yang kalau kita ingat kedatangan pertamanya ke Indonesia memberi perhatian penting dalam misi pendidikan, kesehatan, dan pemberdayaan ekonomi secara universal. Kalau pelayanan publik seperti itu kembali digalakkan, tentu akan lebih terbuka interaksi antar agama, dan tak lagi ada salah prasangka di masyarakat,” tuturnya.
Tema Natal
Menurut Sahat, tema Natal 2024, ’Marilah Sekarang Kita Pergi ke Betlehem’ diambil dari Lukas 2:15 menunjukkan ajakan kesederhanaan Tuhan Yesus yang lahir di palungan kandang domba.
”Fakta itu menunjukkan bahwa Yesus lahir bukan untuk orang mapan, tapi untuk orang miskin, tertindas, dan mereka yang mengalami diskriminasi. Karena itu, hendaklah peringatan Natal tak hanya jadi seremoni, tapi bagaimana kita bisa menghayati kedatangan Tuhan Yesus ke dunia dalam kesederhanaan dan pengorbanannya,” kata Ketua Umum Pengurus Pusat Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia 2016-2018 ini.
Sahat juga menjelaskan peran anak-anak muda Kristiani dalam bergerak cepat melakukan pertolongan mengatasi bencana alam, yang kerap terjadi di akhir tahun pada masa berlangsungnya peringatan Natal.
”Sejak dari GMKI, lanjut ber-GAMKI, kami terbiasa saling bantu mengatasi bencana. Dimulai dengan membentuk tim melalui cabang di daerah, melakukan penggalangan dana masyarakat, hingga melakukan pendampingan psikologi bagi korban terdampak, terutama anak-anak. Tak jarang kami menginap sampai berhari-hari atau berminggu-minggu di lokasi bencana,” urainya.
Akhirnya, Sahat berharap baik kegiatan peribadatan Natal maupun pelaksanaan arus mudik di Libur Nataru dapat berjalan lancar. Selanjutnya, kita memiliki semangat baru menyambut 2025 yang penuh tantangan, terutama menghadapi kerasnya situasi ekonomi secara global.
”Menghadapi tantangan berat tahun depan, kita sebagai satu bangsa, wajib mendukung pemerintah membangun Indonesia yang kita cintai sesuai peran dalam bidang kita masing-masing,” pungkasnya.
Selengkapnya di