Oleh: Baretha Meisar Titioka
Ketua DPP GAMKI Bidang Pengembangan Sumber Daya Manusia/Mahasiswa Program Doktor Ilmu Ekonomi Universitas Sebelas Maret
Sopi, minuman tradisional beralkohol khas Maluku, telah lama menjadi bagian dari kehidupan sosial, budaya, dan ekonomi masyarakat setempat. Lebih dari sekadar minuman, sopi memiliki peran simbolis dalam berbagai ritual adat, seperti pernikahan, penyelesaian sengketa, dan upacara keagamaan tertentu (Sarioa, 2011; Saleky, 2016). Secara epistemologi Sopi berasal dari bahasa Belanda, zoopje yang artinya alkohol cair. Keberadaannya tidak dapat dipisahkan dari identitas masyarakat Maluku yang telah mengkonsumsinya secara turun-temurun dalam konteks budaya dan kebersamaan. Namun, legalitas sopi masih menjadi perdebatan panjang yang melibatkan berbagai kepentingan, mulai dari aspek ekonomi hingga dampak sosial yang ditimbulkannya (Patty & Belarminus, 2019; Pattiruhu & Therik, 2020; Siahaya, 2025).
Di satu sisi, sopi menjadi sumber ekonomi bagi banyak masyarakat, terutama di daerah pedesaan. Produksi dan distribusi sopi telah menciptakan lapangan kerja bagi petani aren dan produsen rumahan yang menggantungkan penghidupannya dari hasil penjualan minuman ini. Dalam konteks ekonomi lokal, legalisasi sopi dapat membuka peluang baru bagi pengusaha kecil dan menengah untuk mengembangkan industri berbasis kearifan lokal (Setiawan dkk, 2013). Beberapa daerah di Indonesia, seperti Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Utara dan Bali telah mengambil langkah untuk mengatur produksi dan distribusi minuman tradisional serupa melalui regulasi yang lebih jelas, seperti Sophia, Cap Tikus dan Arak Bali yang sudah masuk pasaran nasional bahkan internasional (Handoyo, 2019; Alamsyah, 2019; Bali Media Centre, 2021). Dengan adanya regulasi yang tepat, sopi bisa menjadi produk unggulan daerah yang dapat dipasarkan secara legal, memberikan dampak positif terhadap pendapatan masyarakat dan meningkatkan daya saing sektor ekonomi berbasis tradisi.

Namun, dampak sosial dari konsumsi sopi juga tidak dapat diabaikan. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa konsumsi alkohol yang berlebihan dapat memicu berbagai masalah sosial, termasuk peningkatan angka kriminalitas, kekerasan dalam rumah tangga, dan kecelakaan lalu lintas (Hanifah, 2023; Aprelia dkk, 2024; Laga dkk, 2024). Kasus-kasus penyalahgunaan sopi sering kali menjadi alasan utama bagi pihak yang menolak legalisasinya. Mantan Gubernur Maluku, Murad Ismail, misalnya, menolak legalisasi sopi dengan alasan bahwa regulasi yang lebih longgar dapat meningkatkan konsumsi dan berdampak negatif terhadap keamanan dan ketertiban masyarakat (Kompas.com, 2019). Selain itu aparat keamanan terus menunjukan sikap “represif” dalam penertiban Sopi (Risanto & Wattimena, 2022; Mukadar, 2023). Namun dalam satu kesempatan, Anos Jeremias Anggota DPRD Provinsi Maluku, berpendapat bahwa sopi sudah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat, sehingga perlu ada peraturan yang jelas untuk mengaturnya agar dapat memberikan manfaat tanpa meningkatkan risiko sosial yang berlebihan (Kompas.com, 2019).
Melihat dinamika ini, diperlukan pendekatan yang lebih seimbang dalam menangani persoalan legalitas sopi di Maluku. Alih-alih sekadar melarang atau melegalkan secara penuh, pemerintah dapat mempertimbangkan regulasi berbasis pengawasan ketat. Salah satu pendekatan yang dapat diterapkan adalah sistem perizinan khusus bagi produsen sopi yang memenuhi standar produksi tertentu, termasuk batasan kadar alkohol yang aman dan mekanisme distribusi yang terkontrol. Selain itu, pembentukan zona konsumsi yang terbatas dan edukasi kepada masyarakat mengenai konsumsi alkohol yang bertanggung jawab juga dapat menjadi solusi dalam mengurangi dampak negatifnya.
Dengan adanya regulasi yang tepat, sopi dapat dikelola sebagai bagian dari ekonomi lokal yang mendukung kesejahteraan masyarakat tanpa mengorbankan aspek sosial. Legalisasi dengan pengawasan yang ketat juga dapat membantu mengurangi peredaran sopi ilegal yang sering kali diproduksi tanpa standar kebersihan dan keamanan yang memadai. Selain itu, pemberdayaan produsen lokal melalui program pelatihan dan bantuan modal usaha dapat mendorong pertumbuhan sektor industri berbasis kearifan lokal, menciptakan peluang ekonomi baru bagi masyarakat Maluku.
Keseluruhan perdebatan ini menunjukkan bahwa isu legalitas Sopi bukan hanya tentang boleh atau tidaknya minuman ini dikonsumsi, tetapi lebih kepada bagaimana regulasi yang tepat dapat diterapkan untuk meminimalkan dampak negatif dan memaksimalkan manfaat ekonominya. Oleh karena itu, diperlukan dialog yang berkelanjutan antara pemerintah, masyarakat adat, akademisi, dan pelaku usaha untuk menemukan solusi yang komprehensif dan berkelanjutan bagi legalitas sopi di Maluku.