Oleh: Baretha Meisar Titioka
Ketua DPP GAMKI Bidang Pengembangan Sumber Daya Manusia / Mahasiswa Program Doktor Ilmu Ekonomi Universitas Sebelas Maret
Sejarah pembangunan infrastruktur di Indonesia penuh dengan ambisi besar, tetapi tidak semua ambisi itu berujung pada keberhasilan. Sejak era Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) hingga Proyek Strategis Nasional (PSN), berbagai proyek raksasa telah digagas untuk mendorong konektivitas dan pertumbuhan ekonomi.
Namun, beberapa proyek yang diharapkan menjadi pendorong utama ekonomi justru gagal mencapai tujuannya. Pelabuhan Sorong, misalnya, dirancang sebagai pusat logistik utama di Papua tetapi hingga kini belum beroperasi secara optimal karena minimnya ekosistem industri pendukung dan rendahnya volume perdagangan. Demikian pula dengan konsep Tol Laut yang bertujuan untuk menekan disparitas harga antarwilayah, namun dalam praktiknya masih menghadapi tantangan dalam efektivitas distribusi barang dan biaya logistik yang belum kompetitif.
Kegagalan-kegagalan tersebut memberikan pelajaran bahwa membangun infrastruktur fisik saja tidak cukup. Tanpa perencanaan ekonomi yang matang dan tata kelola yang baik, proyek-proyek besar berisiko menjadi monumen tanpa nilai tambah bagi masyarakat.
Kini, dengan diumumkannya Maluku Integrated Port sebagai bagian dari Proyek Strategis Nasional, muncul harapan baru bagi masa depan perekonomian di kawasan Timur Indonesia. Namun, sejarah telah mengajarkan kita untuk tidak terburu-buru dalam merayakan proyek raksasa sebelum memahami strategi yang akan diterapkan untuk menjamin keberhasilannya.
Maluku sebagai lokasi pembangunan pelabuhan terpadu ini dipilih bukan tanpa alasan. Secara historis, Maluku adalah poros perdagangan rempah dunia yang menjadi pusat perekonomian di masa lampau. Namun, dalam beberapa dekade terakhir, potensi ini belum dimanfaatkan secara optimal. Biaya logistik yang tinggi, kurangnya infrastruktur, dan keterbatasan akses pasar menjadi penghambat utama bagi pertumbuhan ekonomi daerah.

Sebagai contoh, data dari Bappenas (2023) menunjukkan bahwa biaya distribusi barang di Maluku bisa mencapai 30-40% lebih tinggi dibandingkan dengan Pulau Jawa. Tingginya biaya ini tidak hanya membebani masyarakat dengan harga barang kebutuhan pokok yang mahal, tetapi juga menghambat daya saing produk lokal di pasar nasional dan global.
Dalam konteks teori ekonomi, investasi dalam infrastruktur memiliki hubungan erat dengan pertumbuhan ekonomi. Menurut teori Endogenous Growth (Romer, 1986), pembangunan infrastruktur yang berkualitas dapat meningkatkan produktivitas dan daya saing wilayah secara berkelanjutan.
Studi yang dilakukan oleh Mingqin Wu dkk (2023) juga menunjukkan bahwa investasi infrastruktur yang efektif dapat mempercepat pertumbuhan ekonomi dengan meningkatkan efisiensi produksi dan memperluas akses pasar. Dengan membangun Maluku Integrated Port sebagai pusat logistik dan perdagangan maritim, diharapkan ada pergeseran besar dalam pola perdagangan di kawasan timur Indonesia.
Namun, membangun pelabuhan saja tidak cukup untuk menjamin pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Jika melihat proyek-proyek pelabuhan yang sukses di berbagai belahan dunia, seperti Pelabuhan Rotterdam di Belanda dan Pelabuhan Singapura, ada satu faktor yang tidak bisa diabaikan: keterpaduan dengan ekosistem industri dan rantai pasok global.
Pelabuhan modern tidak hanya berfungsi sebagai tempat bongkar muat barang, tetapi juga sebagai pusat distribusi yang terintegrasi dengan infrastruktur logistik, kawasan industri, dan layanan bernilai tambah lainnya. Penerapan konsep Smart Port di Rotterdam, misalnya, memungkinkan pengelolaan data yang lebih efisien, sehingga operasional pelabuhan dapat berjalan lebih cepat dan biaya logistik dapat ditekan hingga 30% (Nikghadam dkk, 2023). Ini adalah model yang dapat menjadi referensi bagi pengembangan Maluku Integrated Port.
Meskipun potensi Maluku sebagai pusat maritim sangat besar, tantangan yang ada juga tidak bisa diabaikan. Salah satu tantangan utama adalah keterlibatan pemangku kepentingan dalam perencanaan dan implementasi proyek. Berdasarkan prinsip stakeholder engagement dalam teori manajemen proyek (Freeman, 1984: Mishra, 2020), keberhasilan infrastruktur besar sangat bergantung pada kolaborasi antara pemerintah, dunia usaha, akademisi, dan masyarakat. Tanpa koordinasi yang kuat, pembangunan ini bisa menghadapi resistensi sosial atau bahkan terhenti di tengah jalan.
Oleh karena itu, penting untuk memastikan bahwa pengambilan keputusan melibatkan semua pihak yang berkepentingan agar proyek ini benar-benar membawa manfaat bagi masyarakat lokal.
Selain itu, tantangan dalam manajemen risiko juga perlu diantisipasi. Banyak proyek infrastruktur di Indonesia yang mengalami hambatan karena ketidaksiapan dalam menghadapi risiko finansial, lingkungan, maupun regulasi. Kerangka kerja manajemen risiko yang fleksibel dan adaptif menjadi kebutuhan utama agar proyek ini bisa terus berjalan meskipun menghadapi kendala di lapangan.
Salah satu aspek yang tidak boleh diabaikan adalah keberlanjutan proyek ini dalam jangka panjang. Keberadaan pelabuhan akan memberikan dampak positif yang lebih besar jika diiringi dengan pembangunan ekosistem industri pendukung, seperti kawasan industri pengolahan hasil laut dan hasil pertanian, industri perkapalan, dan pusat distribusi logistik yang modern.
Pembelajaran dari negara lain dapat menjadi referensi berharga dalam perencanaan Maluku Integrated Port. Pelabuhan Rotterdam, yang telah lama menjadi salah satu pelabuhan tersukses di dunia, menunjukkan bahwa integrasi dengan teknologi canggih seperti big data dapat mengurangi inefisiensi dan meningkatkan daya saing.
Pelabuhan Tanjung Priok di Indonesia juga memberikan contoh bagaimana digitalisasi dan optimalisasi manajemen pelabuhan dapat menekan waktu tunggu dan biaya logistik. Dengan mengadopsi sistem yang transparan dan efisien, Maluku Integrated Port memiliki peluang besar untuk menjadi pusat maritim yang kompetitif di tingkat global.
Namun, untuk memastikan keberhasilan proyek ini, diperlukan lebih dari sekadar pembangunan infrastruktur fisik. Roadmap yang jelas harus disusun agar pelabuhan ini dapat benar-benar menjadi motor penggerak ekonomi Maluku. Pemerintah daerah dan pusat perlu bekerja sama dalam menarik investasi, memberikan insentif bagi pelaku usaha, serta membangun pusat-pusat industri yang dapat memanfaatkan keberadaan pelabuhan secara maksimal.
Dengan strategi yang tepat, Maluku Integrated Port tidak hanya akan menjadi pintu gerbang logistik, tetapi juga menjadi katalisator bagi pertumbuhan ekonomi berkelanjutan di kawasan timur Indonesia. Maluku memiliki sejarah panjang sebagai pusat perdagangan maritim, dan kini saatnya sejarah itu dihidupkan kembali dengan semangat baru.
Keberhasilan proyek ini tidak hanya akan mengubah wajah Maluku, tetapi juga menjadi model bagi pembangunan infrastruktur maritim di seluruh Indonesia. Kini, tantangan terbesar ada di tangan pemerintah dan masyarakat Maluku sendiri; mampukah kita belajar dari masa lalu dan menjadikan proyek ini sebagai warisan kemajuan untuk generasi mendatang?
***BMT***