Gerakan Angkatan Muda Kristen Indonesia (GAMKI) turut memberikan respon atas terjadinya rangkaian tindakan intoleran yang terjadi di Eropa, yakni penerbitan karikatur Nabi Muhammad oleh majalah Charlie Hebdo, pembunuhan terhadap guru sejarah Perancis, serangan di Gereja Notre-Dame Basillica, Nice, Prancis, penembakan terhadap seorang pendeta di Lyon, Prancis, serangan di Wina, Austria, aksi di Masjid Compiegne, Prancis Utara, serta pernyataan yang disampaikan oleh Presiden Prancis, Emannuel Macron dan beberapa pemimpin dunia lainnya.
GAMKI menyayangkan adanya penerbitan karikatur Nabi Muhammad oleh majalah Charlie Hebdo yang kemudian berlanjut dengan polemik. Serta timbulnya aksi dan reaksi yang terjadi beberapa minggu terakhir. Bahkan, juga menimbulkan korban jiwa dari orang-orang yang tidak bersalah.
Ketua DPP GAMKI Bidang Diplomasi dan Kerjasama Internasional, Ruben Frangky Oratmangun menyampaikan bahwa Charlie Hebdo adalah majalah satir mingguan Prancis berhaluan kiri.
Majalah tersebut selama ini telah sering mengkritik apapun yang berhaluan kanan. Termasuk soal politik, budaya, dan beberapa agama meliputi Katolik, Protestan, Islam, dan Yahudi.
“Kami dari GAMKI merasa penting untuk menginformasikan, bahwa majalah Charlie Hebdo ini tidak hanya membuat karikatur provokatif tentang Nabi Muhammad. Tapi juga sebelumnya pernah memuat lelucon satir tentang Paus yang merupakan pemimpin tertinggi umat Katolik. Juga karikatur provokatif tentang Tuhan Yesus,” jelas Ruben dalam siaran pers pada hari Minggu, (8/11).
Tidak hanya itu, kata dia, majalah tersebut selama ini juga telah banyak menuai kontroversi. Bahkan menampilkan laporan jurnalistik dengan nada provokatif. Serta menampilkan karikatur, laporan, polemik, dan lelucon satir.
Menurut Ruben, kebebasan berekspresi yang ada di Prancis merupakan salah satu prinsip dasar liberte yang dianut oleh Prancis selama ratusan tahun. Pasca Renaissance, Reformasi Gereja, dan Revolusi Prancis, Prancis telah menganut sistem yang memisahkan hubungan agama dan negara. Sehingga kebebasan berekspresi yang diakui oleh negara salah satunya adalah kebebasan berekspresi mengenai agama.
“Namun dengan perkembangan peradaban saat ini, di mana penduduk negara-negara dunia semakin beragam baik etnis, agama, dan golongan, kebebasan berekspresi dalam konteks kemajemukan perlu dipertimbangkan matang dan dilakukan secara bijaksana. Sehingga tidak menimbulkan polemik di tengah masyarakat seperti yang terjadi beberapa minggu ini,” jelas Ruben yang sewaktu menjadi Pengurus Pusat GMKI, pernah mengadakan kegiatan International Interfaith Dialogue dan Global Christian Youth Conference di Indonesia pada tahun 2017 lalu.
Ruben pun menyayangkan, tindakan pembunuhan yang dilakukan terhadap guru sejarah Prancis, serangan di Gereja Notre-Dame Basillica, Nice, Prancis, penembakan terhadap seorang pendeta di Lyon, Prancis, serangan di Wina, Austria, serta aksi peletakan kepala babi di Masjid Compiegne, Prancis Utara.
“Tindakan yang dilakukan sangat bertentangan dengan ajaran agama manapun, yang mengajarkan tentang cinta kasih dan perdamaian. Apalagi merengut nyawa orang-orang yang tidak berkaitan dengan persoalan ini,” ucap Ruben yang juga aktif bertahun-tahun dalam aksi solidaritas perjuangan kemerdekaan Palestina ini.
Menurut Ruben, ketegangan, konflik, ataupun perbedaan pandangan seharusnya dapat diselesaikan melalui dialog. Bukan dengan cara kekerasan dan intoleran.
Dalam keterangan pers yang sama, Sekretaris Umum DPP GAMKI, Sahat Martin Philip Sinurat meminta para pemimpin negara, tokoh-tokoh dunia, serta pemimpin-pemimpin agama di manca negara untuk bisa membangun narasi damai dalam menyelesaikan ketegangan yang saat ini sedang terjadi.
“Kami meminta semua pihak, terkhusus para pemimpin dunia. Untuk menahan diri dengan tidak mengeluarkan pernyataan yang dapat memicu konflik. Perbedaan yang ada saat ini merupakan keniscayaan. Sehingga kita perlu mewujudkan kehidupan yang harmonis demi kemajuan peradaban kita bersama. Mari kita sebagai masyarakat dunia membangun dialog untuk menyelesaikan konflik dan ketegangan,” kata Sahat.
Sahat yang selama ini aktif dalam kegiatan lintas agama dan gerakan kebangsaan menyampaikan, saat ini sedang terjadi benturan peradaban di berbagai kawasan dunia.
Sahat mendesak para pemimpin negara untuk segera melakukan dialog antar peradaban. Baik antar negara, maupun antar warga setiap negara. Khususnya terkait benturan peradaban Eropa dan peradaban Islam.
“Apalagi saat ini banyak negara Eropa yang memberikan suaka dan menerima para imigran dari kawasan Timur Tengah untuk tinggal dan menetap di Eropa. Sehingga satu dekade terakhir kita melihat ada banyak terjadi singgungan peradaban di negara-negara Eropa,” kata Sahat yang pernah diundang ke Sri Lanka, Mesir, dan China untuk membicarakan tentang Pancasila dan Keberagaman Indonesia.
Dalam hal ini, lanjut Sahat, Indonesia dengan kemajemukannya memiliki peran strategis untuk menjadi pihak yang menginisiasi dialog antar peradaban ini. Baik yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia maupun oleh organisasi masyarakat sipil. Seperti lembaga keagamaan maupun organisasi kepemudaan lainnya.
“Adanya dialog antar peradaban dapat meminimalisir terjadinya tindakan kekerasan akibat perbedaan agama, etnis, atau pandangan. Pihak-pihak yang berkonflik dapat membangun dialog untuk mencari penyelesaian atas setiap perbedaan yang terjadi,” pungkas mantan Ketua Umum Pengurus Pusat GMKI ini.