Pemerintah punya komitmen dan spirit yang besar untuk membangun Papua. Undang- undang Otsus adalah satu-satunya alat untuk mempercepat pembangunan Papua. Namun satu hal yang harus kita perangi dan berantas bersama adalah korupsi yang merajalela. Hal ini disampaikan Dr. Bahtiar, Plt. Dirjen Politik dan PUM Kementerian Dalam Negeri dalam acara seminar sesi II Rakernas DPP GAMKI di Hotel Garden Palace, Surabaya, Jawa Timur, Jumat (31/1/2020).
“Siapa yang korupsi dan di level mana dia korupsi. Ini hal yang harus kita kawal. Sehingga, ketika penyakit korupsi itu hilang, maka pengalokasian dana Otsus akan tepat sasaran. Kesejahteraan akan terlihat di Papua,” ujar Dr. Bahtiar yang hadir sebagai pembicara dengan tema “Jokowi Bersama Masa Depan Papua Pasca Otonomi Khusus”.
Maka dengan ini, dikatakan Dr. Bahtiar, GAMKI harus menjadi fasilitator antara aspirasi masyarakat Papua dengan kebijakan pemerintah.
“GAMKI mempunya potensi untuk menembus batas-batas komunikasi yang selama ini tersendat. Kami yakin sumber daya manusia GAMKI mampu menjadi mediator. GAMKI harus mampu memberikan masukan kepada pemerintah sebagai solusi untuk pembangunan Papua kedepannya,” ucapnya.
Sementara itu, menurut akademisi Universitas Cendrawasih, Dr. Yustus Pondayar mengatakan bahwa lahirnya UU Nomor 21 tahun 2001 tentang otonomi khusus bagi Provinsi Papua adalah untuk kebijakan dalam penyelanggaraan pemerintahan dan pembangunan yang sentralistik. Namun hal ini belum sepenuhnya bisa menjawab rasa keadilan, kesejahteraan rakyat, penegakan hukum, maupun HAM.
“Kondisi tersebut mengakibatkan terjadinya kesenjangan pada hampir semua faktor kehidupan, terutama dalam bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, kebudayaan, dan sosial politik yang berakumulasi pada tuntutan disintegrasi Papua,” sambung Dr. Yustus.
Selama 19 tahun aktualisasi otonomi khusus Papua, apabila ditinjau dari aspek normatif, Dr. Yustus mengatakan bahwa materi muatan atau substansi yang diatur dalam UU Nomor 21 tahun 2001 tentang otonomi khusus bagi Povinsu Papua tersebut tidak bisa diaktualisasikan. Hal ini dikarenakan peraturan perundang-undangan nasional terkait dengan penyelenggaraan pemerintah daerah berkembang dengan cepat.
“Hubungan antara pemerintah Provinsi dan Kabupaten dalam kerangka Otsus itu sama sekali kabur dan tidak jelas. Kapan hubungan pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten dalam kerangka Otsus terjadi. Ada pula UU Otsus yang tidak bisa diaktualisasikan,” kata dia.
Sementara itu dari aspek empiris, Wakil Dekan Fakultas Hukum Universitas Cendrawasih ini mengatakan, Pemprov Papua tidak meletakkan atau menyusun dokumen rencana pembangunan otonomi khusus. Sehingga tidak ada indikator ketercapaian yang diinginkan.
“Yang terjadi juga adalah bahwa Otsus dapat diatur dengan Perdasus, sehingga Gubernur maupun Bupati mengatur dana tersebut sesuai dengan perspektifnya sendiri. Seharusnya pemerintah pusat harus mengarahkan penggunaan dana tersebut. Acapkali dana Otsus dipakai untuk kepentingan kampanye politik,” ujarnya.
Lanjutnya, pemerintah pusat dan pemerintah daerah terlalu banyak melakukan evaluasi tanpa mengambil langkah-langkah penataan untuk penguatan UU Otsus.
“Realita yang terjadi juga adalah bahwa DPR RI lemah dalam melakukan pengawasan dan meminta pertanggungjawaban kepada Presiden. UU Otsus telah berjalan 19 tahun, tetapi DPR RI sama sekali tidak ada melakukan evaluasi,” tuturnya.
Maka dari itu, lanjut Dr. Yustus, pemerintah pusat dan daerah harus melakukan moratorium UU Otsus Papua untuk sementara waktu agar adanya evaluasi total terhadap pelaksanaan UU Otsus. Hal ini utnuk mencari solusi terbaik.
“Supaya kedepan tidak terkesan adanya kecurigaan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah dan sebaliknya,” tutupnya.