Gerakan Angkatan Muda Kristen Indonesia (GAMKI) melaksanakan Rakernas di Surabaya, Jawa Timur pada tanggal 31 Januari sampai 2 Februari lalu. Dalam pembukaan Rakernas GAMKI, hadir mewakili pemerintah pusat Menpora Zainudin Amali, Staf Khusus Presiden Billy Mambrasar, mewakili Ketua DPD RI Angelius Wake Kako, dan mewakili pemerintah daerah Sekda Provinsi Jawa Timur Heru Tjahjono.
Ketua Umum DPP GAMKI Willem Wandik dalam sambutannya menyampaikan, di era milenial ini setiap orang dapat mengekspresikan “ketidaksukaannya” terhadap sesuatu hal melalui platform digital (facebook, twitter, dll). Penggunaan media sosial untuk menyalurkan ketidaksukaan berpotensi memicu perseteruan dalam skala nasional yang kemudian membahayakan integrasi sosial dan kedamaian di masyarakat.
Lanjut Willem, negara tidak mampu untuk mencegah penyalahgunaan media sosial ini, sekalipun lembaga penegak hukum telah diberikan tugas untuk menegakkan hukum sipil.
“Oleh karena itu, wacana tentang toleransi tidak bisa sekedar disampaikan sebagai himbauan moral semata, tetapi wajib diperjuangkan sebagai norma bersama yang sifatnya mengikat,” tegas Wandik.
Tantangan terbesar lainnya juga adalah bahaya radikalisme dan ekstrimisme, masalah rasisme terhadap entitas Melanesia Papua, masalah intoleransi terhadap keyakinan menjalankan ibadah, masalah bencana alam dan kerusakan ekosistem hutan (terutama ancaman terhadap masyarakat adat), dan masalah perekonomian nasional.
Terkait kondisi di Tanah Papua, semua ini terjadi karena kesalahan konsep penyelesaian masalah yang tidak pernah dapat dipertemukan antara “konsep militerisme ala Jakarta” dengan konsep rekonsiliasi humanisme ala pendekatan “Wisdom Culture” dan pendekatan Gereja di Tanah Papua.
Suku-suku asli di Tanah Papua dulunya berperang antara satu dengan lainnya. Tetapi sejak masuknya pekabaran Injil oleh Sir Car Willem Otto dan Sir Johan Gottlod Geissler pada tahun 1855, kemudian tercipta hidup damai dan berdampingan dalam pangkuan Gereja.
Namun sejak era Trikora 1962, era Otsus Papua 2001, sampai hari ini, pendekatan kemanusiaan ini tidak dipahami oleh para pengambil kebijakan di pusat kekuasaan Jakarta. Maka yang terjadi adalah pertumpahan darah di Tanah Papua.
Perjalanan konflik dan masalah sosial yang dihadapi di Tanah Papua, adalah ketidakadilan, penegakan hukum yang diskriminatif, praktek militerisme, dan diabaikannya peran lembaga adat dan gereja.
“Tanah Papua sekali lagi tidak membutuhkan serdadu-serdadu, tidak pula membutuhkan milisi bersenjata, melainkan membutuhkan kasih Tuhan,” tegas Willem Wandik.
Oleh karena itu, kami mengajak seluruh umat Gereja, para pemimpin nasional, dan seluruh umat beragama di Republik ini, agar kita semua menyatukan visi perdamaian yang abadi dan menghentikan segala bentuk kekerasan di Tanah Papua dengan semangat “satu nyawa berharga di Tanah Papua”.
Sebuah pepatah menyebutkan “bukanlah seberapa kuat dirimu dapat menaklukkan orang lain, tetapi seberapa tulus dirimu menunjukkan kebaikan dan empati terhadap orang lain”.
“Itulah kunci perdamaian sejati di Tanah Papua yang menjadi gerbang menara Injil di kawasan Timur Nusantara yang harus dilakukan oleh setiap penguasa di Republik ini,” tegas Wandik.
Beberapa waktu yang lalu peristiwa rasisme bergejolak di Surabaya. Kejadian ini kemudian memicu pergolakan sosial yang tidak terkendali di Tanah Papua. Kami berharap dari Kota Pahlawan ini, maka deklarasi unifikasi, penghapusan diskriminasi rasial, pengukuhan ideologi ideologi Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika, harus terus kita deklarasikan untuk memperkuat visi Indonesia Raya menjelang 100 tahun berdirinya republik ini.
“Soal pemindahan Ibukota Negara, kami sangat mengapresiasi keberanian Presiden Jokowi. Meskipun menuai banyak pro dan kontra, terutama menabrak romantisme pulau Jawa sebagai pusat peradaban Indonesia di masa lalu. Hal ini menunjukkan visi Indonesia Sentris, dan merupakan lompatan baru sebagai rumah bersama bangsa Nusantara,” ujar Wandik yang juga merupakan anggota DPR RI ini.
Catatan penting yang perlu kami perkuat, lanjut Wandik, adalah Kalimantan Timur juga merupakan wilayah adat dari Suku Dayak, yang masih hidup mempertahankan tradisi nenek moyang, dan dimana sebagian besar kegiatan pelayanan Gereja juga banyak memberdayakan masyarakat adat Suku Dayak.
“Sebagai DPP GAMKI, kami menghimbau kepada umat gereja di Kalimantan Timur, untuk mendukung Nawacita Presiden Jokowi, menjadikan wilayah adat Suku Dayak sebagai rumah baru, ibu kota pemerintahan masyarakat Nusantara, yang majemuk, inklusif (terbuka), toleran, dan mempertahankan kelestarian ekosistem Hutan Kalimantan sebagai paru-paru dunia,” pungkas Wandik.