JAKARTA – Lahirnya Permendikbud Ristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Perguruan Tinggi yang menuai pro-kontra memantik diskusi Dewan Pimpinan Pusat Gerakan Angkatan Muda Kristen Indonesia Bidang Pemberdayaan Perempuan dan Anak, Sabua Perempuan Maluku Utara, Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi, serta Institute for Criminal Justice Reform (ICJR).
“Secara umum kekerasan seksual merupakan pelanggaran hak asasi manusia. Setiap orang berhak bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia dan berhak memperoleh suaka politik dari negara lain (pasal 28G UUD) dan negara bertanggungjawab untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sebagaimana tertuang dalam pasal 28I UUD,” kata Inspektur Jendeal Kemendikbud Ristek Chatarina Muliana Girsang
Chatarina memaparkan, ada tiga konsep hak asasi masusia yang harus dipahami di antaranya martabat manusia (human dignity), kesetaraan (equality) dan tanggungjawab negara (state responsibility).
Martabat manusia yang dimaksudkan adalah hak asasi manusia melekat dalam kemanusiaan setiap manusia, martabat kemanusiaan yang harus dijaga dan dilindungi.
Kesetaraan ialah menghormati martabat yang melekat pada setiap manusia, setiap umat manusia dilahirkan merdeka dan sederajat dalam harkat dan martabatnya.
Selain itu, negara wajib dan bertanggungjawab untuk mentaati serta tunduk pada norma-norma hukum dan standar yang tercantum di dalam instrumen–instrument HAM.
Ia menambahkan, berdasarkan data kasus kekerasan seksual dari berbagai lembaga mengungkap bahwa perguruan tinggi darurat kekerasan seksual.
Data-data tersebut diperoleh dari komnas perempuan (2015-2020) melaporkan bahwa kekerasan seksual terjadi di semua jenjang pendidikan dan 27 persen dari aduan yang diterima terjadi di jenjang pendidikan tinggi.
Selain itu, kanal aduan eksternal (2019) melaporkan berdasarkan 174 testimoni dari 79 kampus di 29 kota, terdapat 89% perempuan 4% laki-laki menjadi korban kekerasan seksual. Lalu, Survei Kemdikbud (2020) 77% dosen menyatakan kekerasan seksual pernah terjadi di kampus, 63% dari mereka tidak melaporkan kasus yang diketahuinya kepada pihak kampus.
Berbagai modus kekerasan seksual di antaranya memanfaatkan relasi kuasa (dosen/senior), bimbingan tugas/tugas akhir dengan pertemuan di luar/dalam kampus dan diluar/dalam jam kerja, berdalih untuk melakukan pengobatan/penelitian dengan subjek mahasiswa/i, memberikan sanksi bernuansa seksual, proses seleksi anggota baru mahasiswa masuk organisasi mahasiswa, perlakuan bernuansa seksual dalam kegiatan ospek.
“Inilah yang menjadi dasar diterbitkannya Permendikbud Ristek Nomor 30 Tahun 2021. Bagaimana proses pendidikan dapat berjalan dengan baik jika lingkungan pendidikan tidak aman dan nyaman?” tanyanya retoris.
Adapun solusi atas kasus kekerasan seksual yang diatur Permendikbud ini di antaranya untuk memenuhi hak setiap WNI atas pendidikan tinggi yang aman, memberi kepastian hukum bagi pemimpin perguruan tinggi untuk mengambil langkah tegas, semakin teredukasinya seluruh kampus di Indonesia tentang isu dan hak korban kekerasan seksual, menciptakan budaya akademik yang sehat dan aman semakin kuat.
“Kita semua punya tanggungjawab melakukan edukasi untuk menerjemahkan serta membangun kesepahaman bersama,” pungkasnya.
Sementara itu, peneliti ICJR Maidina Rahmawati mengingatkan bahwa kekerasan sifatnya kompleks, dapat dikaji dari berbagai tataran ilmu pengetahuan mulai dari kriminologi, hukum, sosiologi dan psikologisnya.
Penelitian Institute for Criminal Justice Reform di seluruh provinsi di Indonesia menyatakan dari 2000 responden ada 71,8 persen dari penduduk Indonesia pernah mengalami kekerasan seksual, dan 66,7 persen di antaranya perempuan.
“Di Asia Pasifik, Indonesia adalah salah satu negara paling berbahaya, selain Filipina. Konservatisme yang melanggengkan patriarki, maskulinitas laki-laki terhadap perempuan menjadi faktor Indonesia dikenal sebagai negara paling tidak aman bagi perempuan,” terang Maidina.
Mengatur kekerasan seksual berbasis konsen sama dngan melindungi korban. Perlindungan negara ada pada perlindungan individu. Kita jelas menyepakati semua manusia tidak ada yang memiliki manusia lain. Manusia sebagai makhluk merdeka memiliki akal budi memegang penuh hak menentukan terlibat ataupun tidak terlibat dalam hubungan seksual.
“Ketika suatu hubungan seksual dilakukan dengan ancaman, kekerasan, ancaman kekerasan ataupun ada penyalahgunaan relasi kuasa maka terjadi penyerangan terhadap akal budi dan hak tersebut,” ingatnya.
Bahkan dalam hubungan yang legal sekalipun konsen harus ada, contohnya yakni pemidanaan pemaksaan hubungan seksual dalam UU PKDRT, Pasal 288 KUHP.
“Jika dipaksakan diatur dengan larangan tindakan seksual berdasarkan hubungan legal, korban kekerasan seksual di perguruan tinggi tidak akan pernah mendapatkan keadilan. Semua korban akan jadi pelaku. Korban akan dipersalahkan, dan orang yang perlu dlindungi tak terjangkau,” tegasnya.