Dua hal menjadi perhatian utama Gerakan Angkatan Muda Kristen Indonesia (GAMKI) terkait kasus kekerasan di Poso, Sulawesi Tengah, yang terus berulang.
Pertama, GAMKI menyoroti efektivitas berbagai program deradikalisasi yang dilakukan pemerintah, terutama oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).
Kedua, desakan agar pemerintah lebih memberikan perhatian kepada masyarakat sipil di wilayah konflik.
Penegasan itu disampaikan Sekretaris Umum Sahat Martin Philip Sinurat dalam Diskusi Live Interaktif ‘Netizen United On Air’ bertajuk ‘Suara GAMKI Tentang Poso, Papua, dan Palestina’ di Radio Pelita Kasih 96.30 FM, Selasa, 18 Mei 2021.
“Tragedi kemanusiaan di Poso ini kan bukan kejadian pertama. Pembunuhan warga sipil yang bahkan disertai pemenggalan kepala, sebuah tindakan tak manusiawi,” kata Sahat.
Pekan lalu, empat warga Desa Kalemago, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah, menjadi korban pembunuhan sadis kelompok teroris Mujahidin Indonesia Timur (MIT) pimpinan Ali Kalora. Tragedi ini mengingatkan kita pada peristiwa serupa pada April 2020 kala Ambo Ajeng, seorang petani ditemukan tewas dengan leher tergorok di Poso, Sulawesi Tengah. Pada November 2020, empat orang jemaat Gereja Bala Keselamatan Pos Pelayanan Lewonu, Palu, Sulawesi Tengah tewas terbunuh, di antaranya ada yang dipenggal dan seorang lagi dibakar.
Tak hanya itu, gereja pos pelayanan dan enam rumah jemaat di Desa Lemba Tongoa, Kecamatan Palolo, Kabupaten Sigi juga dibakar oleh kelompok teroris.
”Kita mengira persoalan Poso ini sudah selesai, terutama dengan hadirnya Satuan Tugas Tinombala dan juga Satgas Madago Raya sebagai operasi gabungan TNI-Polri. Ternyata selama bertahun-tahun satuan tugas ini masih bekerja mengejar teroris di dalam hutan, menjadi pertanyaan mengapa masyarakat sipil yang menghidupi diri dengan bertani dan beternak tidak dijaga keselamatannya?” tanya Sahat.
Penyelesaian Masalah Papua: Perhatikan Suara OAP
Terkait Papua, Sahat mengingatkan media agar membuat berita yang cover both side, terutama dalam isu-isu sensitif seperti peristiwa kekerasan di tanah Papua.
“Kita ingat kasus pembunuhan Pendeta Gereja Kemah Injil Indonesia (GKII) Yeremia Zanambani di Distrik Hitadipa, Kabupaten Intan Jaya, September 2020. Saat itu media langsung menulis bahwa pelakunya dari Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB),” kata Sahat.
Belakangan, setelah Menko Polhukam Mahfud MD mengirim Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF), juga laporan Tim Investigasi Komans HAM, serta Tim Independen Kemanusiaan untuk Intan Jaya menunjukkan dugaan keterlibatan aparat dalam pembunuhan Pendeta Yeremia Zanambani.
Demikian pula terkait sorotan pada aksi kekerasan oleh KKB akhir-akhir ini. Sahat menggarisbawahi bahwa keselamatan rakyat sipil harus di atas segalanya.
“Jangan sampai konflik antara TNI-Polri dan KKB ini justru menjadikan rakyat sipil sebagai korban utamanya. Kita tahu, sudah begitu banyak pengungsi rakyat sipil di tiga kabupaten di Papua, yakni Nduga, Intan Jaya, dan Puncak,” tegasnya.
Sahat mengungkapkan keprihatinan GAMKI, ketika begitu banyak warga, termasuk anak-anak mengungsi ke hutan, apakah makanan dan kebutuhan pokok mereka lainnya bisa terpenuhi.
“Anak-anak kecil rentan sekali menjadi korban jiwa ketika keperluan dasar tak tercukupi. Juga bagaimana agar rakyat sipil ini tak jadi korban salah tembak di hutan,” ungkapnya.
Sahat pun mengajak kita untuk belajar dari keberhasilan pemerintah menyelesaikan konflik Aceh dengan kembali membawa Gerakan Aceh Merdeka (GAM) ke nauangan Ibu Pertiwi.
“Pendekatan yang sama bisa juga diterapkan di Papua. Selama ini, kami melihat ada pasal-pasal dari Undang-Undang No. 21/2001 tentang Otonomi Khusus Papua yang belum diturunkan jadi peraturan-peraturan daerah khusus (perdasus),” terangnya.
Menurut Sahat, merujuk pada UU Otsus yang ditandatangani Presiden Megawati Soekarnoputri itu, sebenarnya sah-sah saja Papua memiliki partai politik lokal dan juga bendera lokal sebagaimana diterapkan di Aceh. Termasuk di antaranya bagaimana pengelolaan anggaran khusus untuk pendidikan di Papua. “Juga penting membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) sebagai upaya penyelesaian konflik Papua,” ujarnya.
Tak lupa, Sahat meminta agar pemerintah tak satu arah dalam menentukan kebijakan penyelesaian permasalan Papua. “Harus mendengar bagaimana maunya masyarakat di sana, tentu tetap dalam bingkai persatuan,” tukasnya.
Harus diakui, lanjut Sahat, salah satu akar masalah di Papua saat ini karena penduduk lokal merasa termarginalkan. “Kita lihat saat ini yang menguasai perekonomian di Papua kebanyakan para pendatang dari pulau lain. Orang Asli Papua (OAP) merasakan ada ketimpangan dalam kebijakan pembangunan di daerahnya,” tutur Ketua Umum GMKI 2016-2018 itu.
Sahat mengapresiasi langkah-langkah Presiden Joko Widodo yang dinilainya memiliki ‘hati’ untuk Papua. “Presiden Jokowi sangat mencintai rakyat Papua, terbukti beliau sudah belasan kali ke Papua. Hanya saja, kelompok-kelompok elit lain di pusat tampaknya belum memiliki kesamaan frekuensi yang sama bagaimana menyelesaikan persoalan di Papua ini,” katanya.
GAMKI meyakini penyelesaian persoalan masalah di Papua masih panjang, tapi hal ini tak akan selesai jika hanya melalui pendekatan kekerasan.
“Cara-cara kekerasan tidak akan menyelesaikan masalah, tapi hanya akan membuat konflik ini semakin berlarut-larut dan cenderung membuat rakyat Papua makin merasa bahwa kita ini bukan saudara setanah air. GAMKI tegas menyatakan bahwa dialog damai adalah jawabannya,” kata Sahat.
Sahat juga mengingatkan, pada pembentukan tim untuk penyelesian konflik masalah Papua, sebaiknya pemerintah melibatkan Orang Asli Papua di dalamnya.
“Harus ada orang Papua yang benar-benar memahami konteks persoalan Papua seperti apa, punya jaringan dengan tokoh-tokoh adat dan agama, sehingga bisa melakukan pendekatan persuasif,” terangnya.
Persoalan Palestina Bukan Konflik Agama
Menyorot isu lain yang tak kalah hangat yakni konflik Israel-Palestina, Sahat mengingatkan agar perang kedua pihak ini tak dilihat dari perspektif agama.
“Kalau kita lihat dari perspektif agama, setiap agama akan punya ego masing-masing. Baik Islam, Kristen maupun Yahudi sama-sama merasa memiliki Israel dan Palestina dengan sejarah kisah suci masing-masing,” katanya.
Sekum GAMKI mengingatkan, persoalan di Timur Tengah ini murni masalah ketidakadilan, terutama keinginan rakyat Palestina yang ingin merdeka dan memiliki negara sendiri.
“Kami pada posisi mendukung PBB, menyelesaikan persoalan ini berdasarkan solusi dua negara sebagai salah satu opsi penyelesaian konflik, sehingga baik Israel dan Palestina bisa hidup berdampingan secara damai,” kata Sahat.
Diungkapkan Sahat, sebagai bukti bahwa GAMKI memandang persoalan ini bukan merupakan persoalan agama, pihaknya kerap beraudiensi dan juga mengundang Duta Besar Palestina di Indonesia dalam acara-acara GAMKI, seperti perayaan Natal.
“Tiga hal terus kami serukan untuk meredakan konflik yang terus berulang ini. Pertama, hentikan kontak senjata. Kedua, turunkan pasukan perdamaian di Kawasan Gaza. Ketiga, bangun kembali dialog kesepakatan solusi dua negara. Dua negara untuk dua warga, sesuai Resolusi PBB 242,” urainya.
Sahat menyatakan, pemerintah Indonesia tak bisa hanya terus mengecam dan mengutuk konflik Israel-Palestina tanpa berbuat lebih konkret.
“Dulu, Presiden Gus Dur berani ingin membuka hubungan diplomasi dengan Isral agar bisa mendudukkan kedua belah pihak. Namun, rencana itu gagal karena banyaknya penolakan dari masyarakat Indonesia. Bagaimana kita bisa jadi mediator kalau kita tidak punya hubungan secara resmi dengan kedua pihak?” tanya Sahat.
Simak selengkapnya di